Profil Kota Blitar


Kota Blitar yang juga dikenal dengan sebutan Kota Patria, Kota Lahar dan Kota Proklamator secara legal - formal didirikan pada tanggal 1 April 1906. Dalam perkembangannya kemudian momentum tersebut ditetapkan sebagai Hari Jadi kota Blitar. Walaupun status pemerintahannya adalah Pemerintah Kota, tidak serta-merta menjadikan mekanisme kehidupan masyarakatnya seperti yang terjadi dikota - kota besar. Memang ukurannya pun tidak mencerminkan sebuah kota yang cukup luas. Level yang dicapai kota Blitar
adalah sebuah kota yang masih tergolong yang terletak di antara klasifikasi kota kecil dan kota besar. Secara faktual ia sudah bukan kota kecil lagi, tetapi juga belum menjadi kota besar.
Membicarakan Kota Blitar, tidaklah lengkap kalau tidak menceritakan semangat kejuangan yang tumbuh berkembang dan kemudian terus menggelora serta menjiwai seluruh proses kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di kota ini. Di kota ini tempat disemayamkan Bung Karno, Sang Proklamator, Presiden Pertama RI, idiolog dan pemikir besar dunia yang dikagumi baik oleh masyarakat Indonesia maupun masyarakat dunia. Kota Blitar juga merupakan salah satu tempat bersejarah bagi Bangsa Indonesia, dimana sebelum dicetuskannya Proklamasi ditempat ini telah diserukan kemerdekaan Indonesia yang diikuti dengan pengibaran Sang Merah Putih yang kemudian berujung pada Pemberontakan PETA oleh Sudanco Supriyadi.
Masyarakat kota Blitar sangat bangga sebagai pewaris Aryo Blitar, pewaris Soeprijadi dan pewaris Soekarno, yang nationalistic - patriotic. Pemerintah Kota Blitar sadar akan hal ini, semangat itu dilestarikan dan dikobarkan, dimanfaatkan sebagi modal pembangunan ke depan. Tidak heran kalau akronim PATRIA dipilih sebagai semboyan. Kata PATRIA ini disusun dari kata PETA, yang diambil dari legenda Soedanco Soeprijadi yang memimpin pemberontakan satuan Pembela Tanah Air (PETA) di Blitar pada Jaman Penjajahan Jepang, serta dari kata Tertib, Rapi, Indah, dan Aman. Selain itu, kata PATRIA memang sengaja dipilih karena didalamnya mengandung makna Cinta tanah air.
Sehingga dengan menyebut kata PATRIA orang akan terbayang kobaran semangat nasionalisme yang telah ditunjukkan oleh para patriot bangsa yang ada di kota Blitar melalui roh perjuangannya masing-masing.

Sejarah Blitar

Enam abad yang lalu, tepatnya pada bulan Waisaka tahun Saka 1283 atau 1361 Masehi, Raja Majapahit yang bernama Hayam Wuruk beserta para pengiringnya menyempatkan diri singgah di Blitar untuk mengadakan upacara pemujaan di Candi Penataran. Rombongan itu tidak hanya singgah di Candi Penataran, tetapi juga ke tempat-tempat lain yang dianggap suci, yaitu Sawentar (Lwangwentar) di Kanigoro, Jimbe, Lodoyo, Simping (Sumberjati) di Kademangan, dan Mleri (Weleri) di Srengat.
Hayam Wuruk tidak hanya sekali singgah di Blitar. Pada tahun 1357 Masehi (1279 Saka) Hayam Wuruk berkunjung kembali ke Blitar untuk meninjau daerah pantai selatan dan menginap selama beberapa hari di Lodoyo. Hal itu mencerminkan betapa pentingnya daerah Blitar kala itu, sehingga Hayam Wuruk pun tidak segan untuk melakukan dua kali kunjungan istimewa dengan tujuan yang berbeda ke daerah ini.
Pada tahun 1316 dan 1317 Kerajaan Majapahit carut marut karena terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Kuti dan Sengkuni. Kondisi itu memaksa Raja Jayanegara untuk menyelamatkan diri ke desa Bedander dengan pengawalan pasukan Bhayangkara dibawah pimpinan Gajah Mada. Berkat siasat Gajah Mada, Jayanegara berhasil kembali naik tahta dengan selamat. Adapun Kuti dan Sengkuni berhasil diringkus dan kemudian dihukum mati. Oleh karena sambutan hangat dan perlindungan ketat yang diberikan penduduk Desa Bedander, maka Jayanegara pun memberikan hadiah berupa prasasti kepada para penduduk desa tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa pemberian prasasti ini merupakan peristiwa penting karena menjadikan Blitar sebagai daerah swatantra di bawah naungan Kerajaan Majapahit. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada hari Minggu Pahing bulan Srawana tahun Saka 1246 atau 5 Agustus 1324 Masehi, sesuai dengan tanggal yang tercantum pada prasasti. Tanggal itulah yang akhirnya diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Blitar setiap tahunnya.
Pada masa kemunculan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, wilayah Blitar relatif tidak banyak disentuh. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa (dimulai dari Demak hingga era Kasunanan Surakarta atau Kesultanan Yogyakarta) kebanyakan memang berada di wilayah Jawa Tengah.
Setelah pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai membangun kota-kota menyusul doktrin Pax Neerlandica yang dilansir van Heutzs, Blitar juga ikut dikembangkan sebagai kota modern yang memungkinkan untuk dihuni oleh orang-orang Eropa. Pada 1 April 1906, pemerintah melansir beleid yang menetapkan Blitar sebagai gemeente (kotamadya). Pada 1928, status Blitar bahkan ditingkatkan sebagai Kota Karesidenan Blitar berdasar StaatbladNomor 497. Semasa pendudukan Jepang, status Blitar kembali berubah. Istilah "Gemeente Blitar" akhirnya diganti menjadi "Blitar Shi". Sehingga pada Tanggal 1 April itulah yang akhirnya diperingati sebagai hari jadi Kota Blitar setiap tahunnya

Peta Blitar

video-entry